only zumar. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Analisis Novel Para Priyayi Umar Kayam

Disini saya sedang belajar untuk merensi sebuah karya sastra indonesia dari Umar Kayam yang berjudul "Para Priyayi", berikut penjabarannya.



A.    Penokohan 

Dalam novel Para Priyayi sendiri memiliki banyak tokoh. Berikut penokohan para tokoh dalam novel ini.
a)      Lantip
Tokoh lantip digambarkan sebagai tokoh yang rajin, taat, dan ulet. Selain itu juga cekatan dalam mengerjakan tugas-tugasnya.
b)      Sastrodarsono
Sastrodarsono, eyang pembangun keluarga priyayi ini digambarkan sebagai tokoh yang patuh, penuh wibawa, pejuang sejati dan teguh pendirian. Soedarsono adalah nama masa kecil dari Sastrodarsono
c)      Dik Ngaisah / Aisah
Ngaisah ini adalah istri dari Sastrodarsono yang digambarkan sebagai seorang istri yang sabar, patuh dan taat kepada suami serta penuh kasih sayang kepada setiap orang.
d)     Noegroho
Noegroho ini adalah anak sulung dari Sastrodarsono dan Ngaisah, dia adalah seorang tentara PETA Yogya yang berwatak keras, tegas dan berwibawa.
e)      Hardojo
Hardojo adalah anak kedua dari Sastrodarsono dan Ngaisah. Dia memiliki sikap yang sabar dan cerdas, dia adalah seorang abdi dalem Mangkunegaraan di Solo.
f)       Soemini
Soemini adalah anak bungsu dari Sastrodarsono dan Ngaisah, dia memiliki prinsip hidup yang kokoh, cerdas dan sangat mengutamakan pendidikan.
g)      Harimurti
Harimurti adalah anak satu-satunya dari Hardojo dan istrinya Sarimurti. Dia memiliki sikap jujur dan tulus serta sangat sayang kepada orangtuanya.
h)      Tuan Sato (Antagonis)
Tuan Sato ini tentara Jepang yang berwatak keras dan galak.

B.     Alur 

Berikut ini adalah tahapan alur novel Para priyayi secara keseluruhan:
a.    Tahap Penyituasian (Situation)
Tahap ini dilukiskan mengenai latar tempat yang menjadi pusat cerita dalam novel ini, yaitu Wanagalih.Tahap penyituasian ini diceritakan oleh tokoh Lantip.Ketika itu, Lantip digambarkan telah menjadi priagung Jakarta. Kemudian, diceritakan keadaan Lantip pada masa kanak-kanak dengan ibunya yang berjualan tempe. Lantip diceritakan belum mengetahui ayah kandungnya.
Ayah saya... wah, saya tidak pernah mengenalnya. Embok selalu mengatakan ayah saya pergi jauh untuk mencari duit (Para Priyayi, 2012: 11).
Baru setelah ibunya meninggal, Lantip diberi tahu oleh Pak Dukuh Wanalawas mengenai ayah kandungnya. Lantip tahu bahwa ia adalah anak jadah dari Ngadiyem dan Soenandar, yang tidak lain adalah keponakan Sastrodarsono. Mulai saat itu ia tahu bahwa ibunya mengenal keluarga Sastrodarsono bukan suatu kebetulan. Ia pun telah mengerti dan tidak akan sakit hati ketika Sastrodarsono marah, kemudian memaki Lantip dengan sebutan anak gento ataupun anak maling.
b. Tahap Pemunculan Konflik (Generating Circumstances)
Pemunculan konflik ini dapat dilihat ketika Sastrodarsono mengalami konflik intern tentang penentuan sikap kepriayiaannya. Sastrodarsono mulai menemukan gaya kepriayiannya dan berhadapan dengan model pemikiran priayi lain. Hal ini terjadi ketika Sastrodarsono ditunjuk untuk menggatikan Martoatmodjo sebagai kepala sekolah desa Karangdompol. Dalam benaknya pada suatu siang, waktu itu saya baru pulang dari mengatur koordinasi dengan para lurah desa untuk pengaturan makan dan perlengkapan lain bagi pasukan, datang berita itu. Seorang kurir datang dari kota membawa berita itu. Toni meninggal ditembak Belanda waktu sedang mencoba pulang untuk menengok ibu dan adik-adiknya. Masya Allah! Inna lillahi wa inna illaihi rojiun.... Anakku sulung, anakku lanang mati! Dan alangkah mudanya dia! Tanpa bisa saya bendung air mata saya berlelehan (Para Priyayi, 2012:222). Dengan kejadian tersebut, membuat Noegroho dan Sus terlalu memanjakan anak mereka yang lain. Mereka berdua takut apabila sesuatu terjadi pada Marie dan Tommi seperti yang dialami Toni.Akan tetapi, sikap mereka yang memanjakan anak mengakibatkan anak-anaknya menjadi salah pergaulan dan menimbulkan banyak permasalahan.
c. Tahap Penanjakan Konflik (Rising Action)
Tahap ini dapat dilihat ketika Sastrodarsono ditempeleng Tuan Sato.Sastrodarsono dianggap tidak menghormati Jepang karena tidak mau membungkukkan badan menghadap ke utara setiap pagi untuk menyembah dewa.Padahal bukan itu permasalahannya, Sastrodarsono merasa tidak sanggup membungkuk karena usianya yang telah senja. Dengan susah payah dan kaku Ndoro Guru Kakung mencoba membungkukkan badannya. Tuan Sato kelihatan tidak puas dengan bungkuk Ndoro Guru Kakung. Tiba-tiba, dengan secepat kilat, tanpa kita nyana, tangan Tuan Sato melayang menempeleng kepala Ndoro Kakung. Plak! Plak! Ndoro Kakung geloyoran tubuhnya.Dengan cepat saya tangkap bersama Menir Soetardjo terus kami dudukkan di kursi goyang.”Darusono, jerek, busuk.Genjimin bogero!”Sehabis mengumpat begitu Tuan Sato pergi dengan diiringi yang lain-lainnya. Sesudah sepi ruang depan itu barulah ketegangan itu terasa mereda. Tetapi, justru waktu itu saya lihat muka Ndoro Guru Kakung pucat pasi, nglokro, lesu.Air matanya berlelehan keluar.Beliau menangis seperti anak kecil (Para Priyayi, 2012: 142).
Selain itu, penanjakan konflik dapat dilihat ketika diketahui bahwa Marie hamil di luar nikah dengan Maridjan.Kejadian ini sangat mengagetkan kedua orang tuanya dan Sastrodarsono.Terlebih lagi, ternyata Maridjan telah menikah, mempunyai istri dan anak. Kejadian ini semakin membuat seluruh keluarga Noegroho terkejut, terutama Marie yang juga belum mengetahui permasalahan ini. “Heeh?!Maridjan sudah punya istri dan anak?Asu, bajingan tengik Maridjan!”Bude Sus hampir pingsan mendengar laporan saya.Pakde Noegroho merah padam mukanya.Sedang Marie mukanya jadi pucat pasi, tegang, matanya memandang entah ke mana.Tommi, yang biasa acuh tak acuh, kali itu ikut gelisah tidak menentu (Para Priyayi, 2012: 271).
Konflik semakin meningkat ketika Ngaisah meninggal dunia.Kepergian Ngaisah begitu mendadak bagi Sastrodarsono.Sebelum meninggal, Ngaisah masih sempat menasihati putrinya, Soemini, dalam membina rumah tangga dan menasihati menantunya, Sus, dalam mendidik anak-anaknya.Sebenarnya Ngaisah telah lama mengidap penyakit liver, namun Sastrodarsono tidak mengetahuinya.Kepergian Ngaisah begitu berat dirasakan oleh Sastrodarsono.
d. Tahap Klimaks (Climax)
Harimurti menunggu dengan harap-harap cemas keluarganya menjemput Gadis, calon istrinya yang sedang hamil tua, dari penjara.Ternyata Gadis meninggal dunia karena terlalu cepat melahirkan.Kabar tersebut sangat mengejutkan Hari bagaikan petir di siang bolong.”Oh, Allah, Lee.Sudah nasibmu, Nggeer. Istrimu, Naak, istrimu sudah tidak ada....”Saya jadi berdiri membatu. Tidak bisa menangis, tidak bisa apa-apa.Saya hanya mendengar cerita ibu dan bapak saya.Gadis melahirkan terlalu cepat sepasang anak kembar laki dan perempuan (Para Priyayi, 2012: 326).
e. Tahap Penyelesaian (Denouement)
Pada tahap penyelesaian terdapat dua bagian, yaitu peleraian (fallingaction) dan penyelesaian (denouement).Tahap peleraian, dapat dilihat ketika Sastrodarsono (Embah Kakung) sakit karena usianya sudah lanjut yakni 83 tahun.Alur ini merupakan penurunan dari keseluruhan cerita karena semua persoalan telah selesai.Sastrodarsono sebagai tokoh utama dalam cerita ini diceritakan hampir menghadap Tuhan karena sakit-sakitan.Sementara itu, tahap penyelesaian, yaitu dengan meninggalnya tokoh Sastrodarsono. Suatu cara mengakhiri cerita yang cukup baik dengan mematikan tokoh utamanya walaupun cerita masih dapat berlanjut dengan diganti tokoh yang lain dan tentunya dengan cerita yang lain. Tiba-tiba kami mendapat surat kilat khusus dari Pakde Ngadiman bahwa Embah Kakung semakin mundur kesehatannya. Juga semakin pikun dan mulai sering menceracau juga.Bapak dan Ibu segera memerintahkan saya dan Gus Hari untuk pergi ke Wanagalih membantu Pakde Ngadiman dan anak-anaknya menjaga dan merawat Embah Kakung (Para Priyayi, 2012:329).
Berdasarkan kepadatan cerita, novel Para Priyayi beralur terbuka.Tergolong alur terbuka disebabkan peristiwa-peristiwa dalam cerita seolah-olah berdiri sendiri namun berhubungan dengan cerita selanjutnya.Hal ini dapat dilihat dengan terdirinya sepuluh episode dalam cerita ini. Selain itu, hubungan antara tokoh yang satu dan yang lain menyambung karena cerita ini memiliki banyak pelaku. Dalam Para Priyayi dikisahkan seorang anak petani desa, Sastrodarsono, yang berjuang untuk meningkatkan golongannya dan berhasil masuk jenjang priayi.Cerita tersebut memiliki kemungkinan terjadi di masyarakat dan masuk akal.Akan tetapi, mungkin hanya orang sedikit yang melakukan usaha seperti Sastrodarsono yang membangun keluarganya dari golongan petani desa menjadi keluarga priayi yang mumpuni.Tegangan (suspense) dalam novel ini terjadi ketika Harimurti menunggu dengan harap-harap cemas keluarganya menjemput Gadis dari penjara.Sementara itu, kejutan (surprise) dalam novel ini, yaitu ternyata Gadis meninggal dunia karena terlalu cepat melahirkan.Kabar tersebut sangat mengejutkan Harimurti dan seluruh keluarganya.Sementara itu, akhir cerita novel Para Priyayi ini dapat dikatakan happy ending.Hal ini disebabkan setiap tokohnya telah mendapatkan kebahagiaan, Marie telah hidup bahagia dengan Maridjan dan Harimurti telah mendapat kebebasannya.
C.     Latar
Cerita ini memiliki latar tempat di desa kecil di tepi sungai Bengawan Solo yang bernama Wanagalih. Diceritakan pula sebuah sketsa yang berlatar di Solo dan Yogya, namun hanya sepintas. suasana yang digambarkan sangat jelas, dengan menjelaskan lekuk-lekuk tempat, titik-titik peristiwa. Latar waktu novel ini diawali pada masa penjajahan Belanda kemudian pendudukan Jepang, awal kemerdekaan hingga pemberontakan PKI.
D.    Tema
Tema pada novel ini adalah keluarga dimana diceritakan bagaimana kehidupan para priyayi di zaman itu, dan perjuangan priyayi dalam mengayomi keluarganya dan rakyat miskin.
E.     Sudut pandang pengarang ( Point of View)
Sudut pandang pengarang dalam novel ini adalah sudut pandang orang Pertama.Sudut pandang orang pertama ini terlihat pada setiap episode cerita.Pengarang bertindak sebagai orang pertama yang sedang menuturkan pengalamannya.Sudut pandang ini menempatkan pengarang sebagai “saya” dalam cerita.Pada bagian Lantip, pengarang menjadi Lantip, pada bagian Sastrodarsono, pengarang menjadi Sastrodarsono, dan seterusnya. Ini suatu cara bercerita yang menarik karena pengarang menjadi beberapa tokoh sekaligus dalam satu rangkaian cerita.
F.      Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan dalam novel ini adalah bahasa Jawa halus yang biasa digunakan oleh para kalangan Priyayi.

Sumber :
Kayam, Umar. 2012. Para Priyayi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Sekian penjabaran saya tentang novel Para Priyayi, semoga bermanfaat :) 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar